Para Pencipta Kemakmuran
Oleh M. Anis
Matta
Para Pencipta Kemakmuran |
(Hal-78) lelaki kaya raya itu menangis tersedu-sedu,
selama berhari-hari, menjelang kematiannya. Bukan karena ia takut mati. Atau sedih
karena harus meninggalkan kekayaannya yang melimpah ruah. Ia justru sedih
karena tak mengerti bagaimana menafsirkan makna kekayaan dan kemakmurannya.
Begini ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Ada sahabat Rasulullah Saw yang jauh lebih baik dariku, yaitu Mush’ab bin Umair, yang ketika wafat tidak meninggalkan harta sedikitpun juga. Ia bahkan tidak punya cukup kain kafan untuk menutupi jasadnya, hingga jika kepalanya ditutup maka kepalanya terbuka. Lalu apa artinya bahwa mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah ini sementara mereka tidak? Tidakkah kekayaan ini malah akan mengantarkan aku ke neraka?”
Lelaki kaya
raya itu, Abdurrahman bin Auf, mengulang-ulang pertanyaan itu, sembari
menangis, sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kebanyakan kita
belajar makna zuhud dari cerita itu. Tapi begitu kita menarik konteks di mana
Abdurrahman bin Auf hidup dan bekerja, segera saja kita temukan nama beliau di
deretan para sahabat Nabi yang ikut berjihad di semua medan tempur sepanjang
hidupnya, ahli ibadah yang tidak kenal lelah, penderma yang tak pernah berhenti
berderma, yang pertama kali mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai
khalifah setelah Umar bin Khattab terbunuh. Semua makna zuhud ada di situ, persis
di jantung kepribadiannya. Ia seharusnya tidak perlu menangis seperti itu jika
semua makna zuhud itu kita nisbatkan kepada dirinya.
Baca Juga: Mimpi-Mimpi Besar
Tapi begitulah
mereka. Mereka mewariskan pelajaran lain yang belum kita pahami. Abdurrahman
bin Auf, satu diantara sekian nama besar pengusaha dari kalangan sahabat
Rasulullah Saw, yang bekerja keras menciptakan kemakmuran dan kekayaan di
tengah masyarakat Muslim yang baru berkembang menjadi pemimpin peradaban baru. Pembebasan-pembebasan
yang terjadi sejak masa Abu Bakar hingga tujuh tahun pertama masa pemerintahan
Usman bin Affan telah memberikan kemelimpahan bagi kaum Muslimin. Mereka mendapatkan
wilayah-wilayah baru dengan segala isinya, yang salah satu artinya adalah
pertambahan dan penggandaan pada pendapatan pemerintah, baik pada sumber yang
sebelumnya sudah ada seperti zakat dan ghanimah, atau dari sumber baru jizyah,
kharaj dan usyur.
Ini menjelaskan
tafsir utama atas kemakmuran di era itu: bahwa pada mulanya kemakmuran itu
diciptakan (Hal-79) oleh pembebasan-pembebasan besar. Kelak sejarah
mencatat fakta kebenaran ini: bahwa bangsa-bangsa yang makmur selalu mencatat
sejarah kemakmurannya dari kemenangan-kemenangan besar dalam perang-perang
besar. Kemakmuran Eropa dan Amerika, misalnya, adalah hasil kemenangan mereka
dalam perang dunia pertama dan kedua serta perang dingin.
Tapi itu
bukan tafsir tunggal atas kemakmuran. Pembebasan-pembebasan besar memberikan
kemelimpahan pada sumber daya untuk mencipta kemakmuran. Tapi hanya bangsa yang
memiliki pengusaha-pengusaha besar yang bisa memanfaatkan dan mengkapitalisasi
sumber daya baru itu menjadi kekayaan yang melimpah. Begitulah kemakmuran
tercipta di era itu: pembebasan-pembebasan besar memberi tambahan sumber daya,
tapi di tangan dingin para pengusaha tangguh, seperti Abdurrahman Bin Auf dan
Usman Bin Affan, sumber daya itu berubah menjadi kekayaan yang melimpah. Lihatlah,
misalnya, bagaimana Usman Bin Affan menghilangkan dominasi pengusaha Yahudi di
Madinah.
Mereka tidaklah
lebih besar dari para pengusaha lain. Tapi mereka adalah pengusaha yang
pembelajar. Dan di antara yang mereka pelajari adalah bagaimana mengimbangi ketangguhan
para mujahidin yang terus-menerus membebaskan wilayah-wilayah baru sembari
mengimbangi pengusaha-pengusaha setempat yang sebelumnya mendominasi wilayah
itu. Amerika mungkin punya Jenderal Mc Arthur yang menaklukkan kawasan pasifik
dalam perang dunia kedua, tapi juga punya Bill Gate yang mengisi
komputer-komputer kita dengan softwarenya atau Warren Buffet yang mengisi
lantai bursa kita dengan investasi-investasinya. Begitu juga di era itu: ada
pembebas sekaliber Khalid Bin Walid, tapi juga ada pengusaha tangguh seperti
Abdurrahman dan Usman Bin Affan.
Baca Juga: BiarkanAirnya Menetes
Jadi tangis Abdurrahman Bin Auf itu adalah pertanyaan yang rendah hati: bisakah perannya sebagai pengusaha mengimbangi peran para mujahidin di mata Allah??***
Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430 H, 8 Oktober 2009 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar